Laman

Kamis, 02 Agustus 2012

Rahasia

Barangkali sepuluh atau dua puluh tahun lagi, kamu akan mengajukan pertanyaan yang sama, seperti siang ini— “Apakah kamu sudah tak mencintaiku lagi?” Katamu. Ragu-ragu.
Aku hanya bisa tersenyum, tentu saja. Bagiku, pertanyaanmu tak beralasan. Tapi tentu ada yang membuatmu harus mempertanyakan lagi rasa cintaku padamu. “Memangnya kenapa?” Tanyaku.

Kamu menggelengkan kepala. Ah, seperti kamu yang biasa. Kalau kamu tak memberitahuku alasannya, bagaimana aku akan tahu?
“Kira-kira kenapa?” Kamu balik bertanya. Aku sudah bisa menebaknya.

Aku mengangkat kedua bahuku—kedua alisku. Kau menekuk lengkung bibirmu.
“Ya udah, berarti bener, kan? Mungkin kamu udah nggak sayang lagi sama aku.” Aha! That’s your template!
Aku terkekeh. Kamu masih cemberut.
“Memangnya kenapa, sih?” Aku selalu harus menanyakannya lagi.
Kamu menggelengkan kepala. Aku menutup buku yang sedang kubaca. Lalu meletakkannya di meja.
“Karena aku sibuk?”
“Aku tidak apa-apa kalau kamu sibuk,” jawabmu.
“Karena kita nggak pernah jalan berdua lagi?”
“Bukan itu,” katamu.
Aku terdiam beberapa saat, memerhatikan wajahmu yang tampak lebih khawatir. Kau bersandar di punggungku. “Apakah aku berlebihan?” Tanyamu.
“Aku senang kamu selalu berlebihan dalam mencintaiku,” jawabku.
“Kamu nggak pernah lagi bilang ‘aku cinta kamu’, kamu nggak pernah lagi bilang ‘I love you’. Kamu nggak seperti dulu. Ya. Mungkin kamu memang sudah tak mencintaiku lagi. Dulu aku bisa mendengarnya setiap hari. Sekarang nggak lagi,” katamu.
Aku tersenyum mendengarkan penjelasanmu. “Itu penting, ya?” Tanyaku.
“Penting.” Jawabmu. Masih cemberut.
“Kalau begitu, maafkan aku.”
Kamu menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa,” katamu, “Aku yang berlebihan.”
“Maafkan… Maafkan aku jika kamu tak bisa mendengarnya,” ujarku.
“Maksudmu?”
“Selama ini aku selalu mengatakannya, aku cinta kamu, saat kamu tak bisa mendengarku. Aku mengatakannya saat kamu sudah tertidur, atau saat kita jauh, atau dalam hati saat memerhatikanmu mengerjakan sesuatu, atau kapanpun saat kamu tak bersamaku.”
“Kenapa?”
“Mungkin dulu aku mencintaimu. Sekarang… aku sangat mencintaimu.”
“Tapi aku perlu mendengarnya juga, kan?”
“Ya, mungkin perlu sesekali. Tapi bukan setiap hari. Jika aku sungguh-sungguh, aku harus mencintamu saat kau bisa mendengar suaraku atau tak bisa mendengar suaraku. Aku menyebut namamu saat dekat dan jauh. Tapi aku lebih suka mencintaimu dalam kesunyian, dengan begitu aku lebih bisa merasakan kesungguhanku. Maaf kalau kamu nggak sependapat dengan caraku.”
Kamu tersenyum. Lalu memelukku dari belakang.
“Aku cinta kamu,” kataku, membisikkannya perlahan ke telingamu.
Kamu terdiam, dan memejamkan mata. Tapi tak membalas ucapanku.
“Kok nggak dibalas?” Tanyaku.
“Kamu tak bisa mendengarnya,” jawabmu, sambil tersenyum dan masih memejamkan mata, “Aku mengatakannya dalam hati. Jauh di kedalaman paling rahasia yang hanya aku sendiri yang tahu.”
Aku tersenyum. Kamu tersenyum. Ah, betapa dalam cinta kita yang tak terdengar.
Demikianlah, Sayangku, sepuluh atau dua puluh tahun lagi, atau lebih lama dari itu, barangkali kau akan mengajukan pertanyaan yang sama, seperti siang ini. Jika saat itu tiba, mungkin aku masih bersamamu atau mungkin telah tiada. Tetapi aku akan selalu mengatakannya, bahwa aku mencintaimu, dalam dekat atau jauh, dalam terdengar atau tak terdengar.
Read more: http://www.fahdisme.com/2012/07/rahasia.html#ixzz22AKiqu7c

Tidak ada komentar:

Posting Komentar