Barangkali sepuluh atau dua puluh tahun lagi, kamu akan mengajukan pertanyaan yang sama, seperti siang ini— “Apakah kamu sudah tak mencintaiku lagi?” Katamu. Ragu-ragu.
Aku hanya bisa tersenyum, tentu saja. Bagiku, pertanyaanmu tak
beralasan. Tapi tentu ada yang membuatmu harus mempertanyakan lagi rasa
cintaku padamu. “Memangnya kenapa?” Tanyaku.
Kamu menggelengkan kepala. Ah, seperti kamu yang biasa. Kalau kamu tak memberitahuku alasannya, bagaimana aku akan tahu?
“Kira-kira kenapa?” Kamu balik bertanya. Aku sudah bisa menebaknya.
Aku mengangkat kedua bahuku—kedua alisku. Kau menekuk lengkung bibirmu.
“Ya udah, berarti bener, kan? Mungkin kamu udah nggak sayang lagi sama aku.” Aha! That’s your template!
Aku terkekeh. Kamu masih cemberut.
“Memangnya kenapa, sih?” Aku selalu harus menanyakannya lagi.
Kamu menggelengkan kepala. Aku menutup buku yang sedang kubaca. Lalu meletakkannya di meja.
“Karena aku sibuk?”
“Aku tidak apa-apa kalau kamu sibuk,” jawabmu.
“Karena kita nggak pernah jalan berdua lagi?”
“Bukan itu,” katamu.
Aku terdiam beberapa saat, memerhatikan wajahmu yang tampak lebih
khawatir. Kau bersandar di punggungku. “Apakah aku berlebihan?” Tanyamu.
“Aku senang kamu selalu berlebihan dalam mencintaiku,” jawabku.
“Kamu nggak pernah lagi bilang ‘aku cinta kamu’, kamu nggak pernah
lagi bilang ‘I love you’. Kamu nggak seperti dulu. Ya. Mungkin kamu
memang sudah tak mencintaiku lagi. Dulu aku bisa mendengarnya setiap
hari. Sekarang nggak lagi,” katamu.
Aku tersenyum mendengarkan penjelasanmu. “Itu penting, ya?” Tanyaku.
“Penting.” Jawabmu. Masih cemberut.
“Kalau begitu, maafkan aku.”
Kamu menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa,” katamu, “Aku yang berlebihan.”
“Maafkan… Maafkan aku jika kamu tak bisa mendengarnya,” ujarku.
“Maksudmu?”
“Selama ini aku selalu mengatakannya, aku cinta kamu, saat kamu tak
bisa mendengarku. Aku mengatakannya saat kamu sudah tertidur, atau saat
kita jauh, atau dalam hati saat memerhatikanmu mengerjakan sesuatu, atau
kapanpun saat kamu tak bersamaku.”
“Kenapa?”
“Mungkin dulu aku mencintaimu. Sekarang… aku sangat mencintaimu.”
“Tapi aku perlu mendengarnya juga, kan?”
“Ya, mungkin perlu sesekali. Tapi bukan setiap hari. Jika aku
sungguh-sungguh, aku harus mencintamu saat kau bisa mendengar suaraku
atau tak bisa mendengar suaraku. Aku menyebut namamu saat dekat dan
jauh. Tapi aku lebih suka mencintaimu dalam kesunyian, dengan begitu aku
lebih bisa merasakan kesungguhanku. Maaf kalau kamu nggak sependapat
dengan caraku.”
Kamu tersenyum. Lalu memelukku dari belakang.
“Aku cinta kamu,” kataku, membisikkannya perlahan ke telingamu.
Kamu terdiam, dan memejamkan mata. Tapi tak membalas ucapanku.
“Kok nggak dibalas?” Tanyaku.
“Kamu tak bisa mendengarnya,” jawabmu, sambil tersenyum dan masih
memejamkan mata, “Aku mengatakannya dalam hati. Jauh di kedalaman paling
rahasia yang hanya aku sendiri yang tahu.”
Aku tersenyum. Kamu tersenyum. Ah, betapa dalam cinta kita yang tak terdengar.
Demikianlah, Sayangku, sepuluh atau dua puluh tahun lagi, atau lebih
lama dari itu, barangkali kau akan mengajukan pertanyaan yang sama,
seperti siang ini. Jika saat itu tiba, mungkin aku masih bersamamu atau
mungkin telah tiada. Tetapi aku akan selalu mengatakannya, bahwa aku
mencintaimu, dalam dekat atau jauh, dalam terdengar atau tak terdengar.
Read more: http://www.fahdisme.com/2012/07/rahasia.html#ixzz22AKiqu7c
Tidak ada komentar:
Posting Komentar